Sejarah
telah menjadi saksi betapa besar pengaruh gerakan dakwah yang di tegakkan kembali oleh Syaikh Muhammad Ilyas rah.a. Dan telah
menjadi fakta yang tak terbantahkan andil gerakan dakwah dan tabligh serta usaha perbaikan umat tersebut dalam meninggikan
kalimat imaniyah di akhir abad ke-20 ini. Sehingga menjadi tinggilah kepentingan agama di atas kepentingan lainnya dan kepentingan
usaha atas agama di atas usaha lainnya. Kemudian orang-orang berbondong-bondong untuk mengutamakan amal daripada mal (harta),
menghidupkan sunnah-sunnah dan adab-adab nabawiyah serta menyiapkan diri untuk menjadi pejuang-pejuang agama, dengan mengorbankan
harta dan diri mereka di jalan Allah (semata-mata mengharap keridhaa-Nya).
Karena
taufik dan inayah dari Allah swt. sajalah, usaha dakwah dan tabligh tersebut kini telah menyebar ke seluruh penjuru dunia.
Allah-lah yang menolong usaha dakwah terswebut dan Allah kuasa untuk menghancurkanya. Pada saat ini dapat di lihat betapa
banyaknya manusia yang berbondong-bondong keluar di jalan Allah ke setiap penjuru, bahkan ke setiap sudut perkampungan terpencil
dengan semangat, niat, cara dan tujuan yang sama untuk menyebarkan agama, hidayah dan perdamaian. Setiap hari selalu ada jamaah
atau rombongan dakwah yang terus di kirim ke berbagai wilayah. Mereka senantiasa mendakwahkan agama siang dan malam, mengingatkan
umat bahwa tidak ada jalan menuju kebahagiaan kecuali mengamalkan agama. Tujuan mereka yaitu untuk memperbaiki diri serta
agar agama yang telah di turunkan Allah swt dengan sempurna ini bisa wujud dalam kehidupun umat islam seluruh alam (khususnya
pada diri pekerja dakwah itu sendiri). Sehingga seluruh kampung-kampung di seluruh alam bisa hidup sebagaimana Madinah Al-munawarah
pada jaman Rasulullah saw. Masjid-masjid seluruh alam bisa hidup sebagaimana kehidupan masjid Nabawi pada jaman Rasulullah
saw. Serta agar manusia memahami pentingnya kerja atas agama melebihi kerja atas kebendaan.
Tidak
ada satupun lapisan masyarakat yang tertinggal dalam menyambut seruan untuk dakwah tersebut, dari Ulama-ulama, Hufadz Qur’an,
pelajar, orang awam, orang miskin, konglomerat, intelek, pengusaha, pejabat, orang kota, orang desa, sampai bekas preman.
Serta telah di amalkan umat di seluruh belahan dunia. Berkat usaha dakwah dan tabligh tersebut telah banyak orang yang hidupnya
kelam mejadi terang, banyak orang kembali tobat dari kemaksiatannya. Dalam usaha ini seolah-olah perbedaan suku, bahasa, negara,
status sosial menjadi kabur kemudian duduk rapat-rapat sebagai umat akhir jaman yang mempunyai tanggung jawab untuk meneruskan
risalah kenabian. Bersatu padu menyatukan fikir dan saling tolong-menolong dalam memperjuangkan agama yang sedang di timpa
sakit yang parah ini. Ini juga bukti bahwa dakwah memang ampuh untuk memperkuat persatuan umat dan menghindari perpecahan.
Amalan
dakwah ini telah bergerak dan berkembang di Afrika seperti Maroko, Al-Jazair, Tunis, dan Libya. Amalan dakwah ini juga bergerak
dan berkembang di Perancis, Belgia, Belanda, Albania, Inggris dan Amerika. Juga di Timur tengah seperti Mesir, Jordania, Syiria,
Libanon, Yaman dan negara-negara Arab lainnya, di samping juga di negeri tempat asal mula usaha ini berkembang, yakni India.
Saat ini lebih dari 240 negara telah hidup amalan dakwah ini.
Usaha
dakwah dan tabligh tersebut bisa berkembang dengan baik meskipun di negara-negara barat yang sangat minoritas Islamnya (seperti
Amerika, Eropa, Australi dll). Dengan sebab usaha dakwah di sana, panji-panji Islam semakin berkibar tinggi. Di sana orang-orang
semakin berani untuk menampakkan ke-Islamannya. Orang semakin bangga untuk memakai atribut-atribut sunnah seperti sorban dan
ghamis. Bahkan banyak orang yang akhirnya masuk Islam asbab usaha dakwah tersebut.
Suatu
usaha yang besar, berskala dunia dan berkaliber Internasional tentu mengundang reaksi yang besar pula. Berbagai sorotan dan
kritikan datang dari segala arah, Ada yang mendukung, simpati, mendorong dan mencintainya. Ada juga yang membenci, dan menghalang-halangi.
Hal ini wajar, hampir semua pembaharuan selalu di iringi pertentangan. Namun fakta membuktikan, siapapun yang terjun langsung
dalam kerja dakwah tersebut maka akan timbul jazbah (semangat) untuk mengamalkan agama. Dan timbul semangat untuk mendakwahkan
agama tersebut kepada orang lain.
Tentang
asal nama "Jamaah Tabligh”, Pada dasarnya tidak ada penamaan resmi terhadap kerja dakwah ini, dan awal gerakan da’wah
tersebut juga memang tidak ada nama khusus. Munculnya nama "Jama’ah Tabligh" terwujud secara alami,
sebagaimana jika orang menjual ikan maka orang-orang akan menyebutnya "Penjual Ikan" atau jika orang menjual buah-buahan maka
orang-orang akan memanggilnya "tukang buah".
Di
kisahkan bahwa Maulana Muhammad Ilyas rah.a. ketika memulai kegiatan dakwah tabligh ini mengatakan, “aku tidak memberikan
nama apa pun terhadap usaha ini. Tetapi, seandainya aku memberinya nama, tentu aku menamakannya ‘gerakan iman’”.
Beliau menyadari bahwa memberikan satu nama khusus pada kegiatan ini berarti membuat pengelompokan baru pada ummat. Ada umat
yang anggota dan yang bukan anggota. Sedangkan dakwah dan tabligh adalah satu amal ibadah seperti sholat, puasa, dzikir, dan
sebagainya. Sebagaimana dalam ibadah-ibadah lain tidak ada pengelompokkan dan keanggotaan (misalnya kelompok ahli sholat,
ahli puasa, dan lain-lain) demikian pula halnya dengan dakwah dan tabligh. Selain hal itu, dakwah adalah tanggung jawab setiap
individu ummat ini yang harus mereka tunaikan tanpa kecuali. Bila di bentuk satu kelompok dakwah, tentu akan timbul kesan
bahwa dakwah adalah tugas anggota kelompok dakwah saja. Dengan berbagai pertimbangan itulah Maulana Ilyas tidak memberikan
nama terhadap usaha dakwah tabligh.
Bahkan,
di berbagai wilayah Indonesia orang-orang mempunyai sebutan yang berbeda-beda. Misalnya jamaah silaturahmi, kuba, jaulah,
khuruj, osamah, jama’ah tholib, bahkan ada yang menyebut jamaah kompor karena sering membawa kompor kemana-mana. Ada
juga sejumlah aktivis da’wah yang kurang senang bila dirinya di sebut anggota jamaah tabligh. Dakwah dan tabligh adalah
tanggung jawab seluruh umat bukan tugasnya sekelompok orang tertentu. Namun yang menjadi kesalahpahaman besar, terutama di
Indonesia adalah menganggap kerja tersebut hanya milik kelompok tertentu. Padahal di harapkan semua umat ikut ambil bagian
dalam kerja dakwah ini sekuat kemampuan yang bisa di berikan.
Azas
(landasan) dari kerja dakwah tersebut
adalah musyawarah yang berdasarkan ruang lingkupnya terbagi dalam beberapa tingkatan musyawarah. Tingkat yang paling besar
adalah musyawarah dunia yang biasanya di adakan 2 tahun sekali. Musyawarah nasional biasanya di adakan 4 bulan sekali (Utk
Indonesia), kemudian di bagi lagi dalam wilayah-wilayah yang lebih kecil, misalnya musyawarah jawa tengah biasanya 2 bulan
sekali, di bagi lagi dalam musyawarah halaqoh (kawasan) biasanya 1 minggu sekali. Sedangkan yang terkecil adalah musyawarah
harian yang biasanya di adakan setiap hari di maholla (masjid) masing-masing. Setiap pekerja dakwah juga di anjurkan
bermusyawarah setiap hari dengan keluarga di rumahnya masing-masing untuk kemajuan agama (setidaknya kemajuan agama dalam
keluarga), sehingga ahli keluarga ikut ambil bagian dalam usaha dakwah. Selain itu juga masih banyak musyawarah-musyawarah
lain yang belum di sebutkan di atas karena setiap kerja selalu di awali dengan musyawarah. Dalam musyawarah dunia, perkembangan
dakwah di evaluasi, serta di bicarakan terti-tertib yang akan di ambil dalam periode yang akan datang. Sehingga terkadang
terjadi perubahan tertib setelah musyawarah dunia.
Pembagian-pembagian
wilayah dalam peta dakwah tabligh tersebut tidak terpengaruh oleh batas-batas formal yang ada dalam pemerintah.
Berdasarkan
tempat berdakwah terbagi menjadi dua, yaitu intiqoli dan maqomi. Intiqoli yaitu dakwah di tempat orang
lain atau kampung lain dengan berpindah atau dengan melakukan perjalanan dengan masa tertentu. Orang di sekitar tempat yang
di datangi di harapkan akan memberi bantuan untuk kerja dakwah sehingga terjalin kerjasama antara pendatang dengan orang tempatan,
sebagaimana kerjasama yang terjalin antara Sahabat muhajirin dan anshor di Madinah pada jaman Rasulullah saw.
Sedangkan maqomi adalah dakwah di tempatnya masing-masing. Setiap pekerja di anjurkan untuk meluangkan beberapa jam
setiap harinya untuk bersilaturahmi dengan orang-orang di sekitar tempatnya masing-masing untuk mendakwahkan agama. Dalam
berdakwah juga di kenal istilah amalan secara infirodi dan Ijtima’i. Infirodi yaitu amalan secara
individu sedangkan ijtima’i secara berkelompok(berjamaah). Begitu pula dalam berdakwah juga bisa di lakukan secara
infirodi maupun ijtima’i.
Pekerja
dakwah di anjurkan untuk mengikuti tertib-tertib dan arahan-arahan yang di sepakati guna menjalankan dakwah, misalnya ketika
keluar di jalan Allah (khuruj fi sabilillah) hendaknya memperbanyak da’wah ilallah, ta’lim wa ta’lum,
dzikir wal ibadah,dan khidmat. Mengurangi masa makan dan minum, tidur dan istirahat, bicara sia-sia, keluar dari
lingkungan masjid. Menghadapi segala kesulitan dengan sabar. Jangan menyinggung masalah politik, khilafiyah (perbedaan
pendapat di kalangan ulama), status sosial, dan derma sumbangan dalam berdakwah (ketika keluar). (Tidak boleh menyinggung
masalah politik dan khilafiyah karena membicarakan hal tersebut ketika keluar di jalan Allah bisa menimbulkan perdebatan
dan perpecahan di antara jamaah). Dan masih banyak arahan-arahan lainnya.
Pada
jaman Rasulullah saw, masjid Nabawi menjadi pusat kegiatan umat, dari sana di bentuk jamaah / rombongan dakwah maupun jihad.
Di sana juga sebagai pusat belajar-mengajar, pusat beribadah dan pusat melayani umat, Sehingga dalam usaha dakwah dan tabligh
ini juga menjadikan masjid sebagai pusat kegiatan dakwah. Berangkat dari masjid dan kembali lagi ke masjid. Untuk kawasan
tertentu ada masjid yang di jadikan markaz (bahasa arab untuk kata centre/pusat). Di situlah biasanya para pekerja
dakwah melakukan ijtima’ (pertemuan).
Dalam
ijtima’ tersebut juga di bentuk jama’ah-jamaah yang akan di kirim ke berbagai tempat untuk berdakwah. Pada
malam ijtima’ di adakan bayan (majelis penerangan untuk menerangkan maksud serta tujuan dakwah dan tabligh).
Petugas bayan (mubayin) memberikan nasihat serta dorongan kepada para jamaah agar memikul tanggung jawab agama dengan
cara mengorbankan sebagian dari harta, diri dan waktu, untuk keluar di jalan Allah. Bayan di akhiri dengan tasykil
yaitu tawaran serta bujukan kepada para jamaah untuk mengorbankan sebagian harta, diri dan waktu untuk keluar di jalan Allah
dengan masa tertentu dalam rangka mendakwahkan agama. Kemudian orang yang berniat untuk ikut keluar (khuruj fi sabilillah)
mendaftarkan diri untuk di data. Di sana juga biasanya di bacakan kitab Hayatus-Shohabah yang berisi perjuangan
dan pengorbanan para sahabat untuk agama, sehingga para jamaah bisa meneladani para sahabat r.a. dalam mengamalkan dan memperjuangkan
agama. Dengan begitu juga bisa dirasakan bahwa pengorbanan para jamaah belum ada apa-apanya di bandingkan pengorbanan para
sahabat r.a dalam membela agama. Orang yang mendapat tugas membaca kitab Hayatus-Sohabah haruslah orang ‘Alim(berilmu).
Kelebihan
mereka dalam berdakwah adalah kerelaan mereka mengorbankan keperluannya untuk kepentingan dakwah. Mereka rela mengorbankan
sebagian harta, diri dan waktu mereka untuk mendakwahkan agama sampai melewati batas pulau dan batas negara.
Dalam berdakwah mereka siap di caci dan di maki, hal itu tidak akan menghentikan mereka. Hubungan antara pekerja dakwah ini
sangat erat, mereka memiliki kesatuan hati yang sangat kuat, di dalamnya ada kasih sayang, dan semangat mengutamakan orang
lain (itsar). Keindahan hubungan mereka dapat di lihat dari ijtima’-ijtima’ yang di adakan. Kasih
sayang ini bukan hanya untuk sesama pekerja dakwah saja. Dalam berdakwah jamaah senantiasa berusaha menjalin hubungan dengan
baik kepada orang-orang yang di temui. Dalam berdakwah di anjurkan menghindari perdebatan serta berdakwah dengan penuh hikmah
dan bijak. Para Da’i di anjurkan menghadirkan sifat okromul muslimin (memuliakan sesama muslim) terutama kepada
Ulama yang di jumpai.
Tidak
ada paksaan dalam menjalankan usaha dakwah ini. Walaupun para masyaikh dan Syuro senantiasa
memberi arahan-arahan dan nasihat dalam mengamalkan dakwah, tapi dalam pelaksanaanya apakah akan di amalkan atau tidak kembali
kepada setiap individu. Namun alangkah baiknya jika semua orang bisa ikut ambil bagian dalam usaha ini. Usaha dakwah tersebut
sangat terbuka, semua orang bisa ikut ambil bagian dalam usaha dakwah.
Para
masyaikh(ulama) juga senantiasa mengingatkan kepada orang-orang yang bekerja di bawah usaha dakwah tersebut bahwa tujuan
utama dalam mengamalkan dakwah tersebut adalah untuk memperbaiki diri (ishlah), memperbaiki orang lain bukanlah tujun
utama mereka dalam berdakwah.
Amalan
dakwah yang telah di konsepkan sangat bagus dan mulia, tapi yang menjalankan dan mengamalkan juga manusia biasa yang datang
dari berbagai latar belakang. Tidak mungkin bisa terhindar dari kesalahan. Jika di cari-cari kekurangan mereka, tentu akan
banyak di temukan, hal ini wajar. Di antara mereka sudah ada yang bertugas untuk mengarahkan dan meluruskan.
Secara
realita kondisi umat saat ini pada umumnya sudah jauh dari apa yang di wasiatkan Rasulullah saw. Banyak masjid di bangun namun
semakin sedikit yang memakmurkannya. Masjid sudah semakin megah namun semakin sepi dari amalan. Pemuda-pemuda kita lebih bangga
menirukan gaya selebriti daripada Nabi kita. Kita sebagai Umat Islam tidak sadar telah ikut terbawa budaya yahudi dan nasrani.
Kini agama, satu-satunya yang menjadi sebab kebahagiaan, kemuliaan dan kejayaan dunia akhirat di anggap sesuatu yang tidak
penting sehingga di abaikan begitu saja. Dengan memberi ummat kitab tebal kemudian kita cuma berharap agar umat mengamalkanya
sementara mereka belum memahami kepentingan agama merupakan perkara yang hampir mustahil.
Opini
masyarakat terbentuk dari apa yang mereka lihat, masyarakat sudah kesulitan melihat kehidupan islam yang sesungguhnya. Cara
bagaimana bermu’amalah, mu’asyaroh, berakhlak yang dulu pernah di ajarkan Rasulullah saw kini telah
hilang dari umat Islam. Jika dulu ada yang bertanya bagaimana akhlak Rasulullah saw maka bisa di jawab akhlak beliau adalah
Al-quran. Namun saat ini kehidupan Islami seolah-olah hanya di dalam buku-buku saja......
Di
jaman sekarang ini, budaya materialisme sudah sangat kental dalam kehidupan masyarakat, masih adanya sekelompok orang yang
mau berkorban untuk mendakwahkan agama merupakan suatu rahmat dari Allah swt yang seharusnya kita tolong dan kita syukuri.
Thola’albadru‘alaina mintsaniyatilwada’ wajaba syukru ‘alaina maada’alillahida’. (Telah
terbit purnama di atas kita muncul dari tsaniyatul wada’, wajib bersyukur atas kita selama masih ada Da’i yang
mengajak kepada Allah)……
Billahitaufiq
Wal Hidayah
Wssalammu’alaikum
wr wb